Pendampingan dan Konseling Ale Rasa Beta Rasa
Pendampingan dan Konseling Ale Rasa Beta Rasa
Harga reguler
Rp 200.000,00 IDR
Harga reguler
Harga obral
Rp 200.000,00 IDR
Harga satuan
/
per
Pendampingan dan Konseling Ale Rasa Beta Rasa
Penerbit: BPK Gunung Mulia
Buku Baru: 2024
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 98 hlm
Sampul: Soft cover
Kepulauan Maluku sangat kaya dengan tradisi dan budaya lokal warisan nenek moyang. Salah satu falsafah yang dihidupi orang Maluku sehari-hari ialah “Ale Rasa Beta Rasa (Kamu Rasa Saya Rasa)”, yang berarti bahwa mereka selalu berempati dengan semua orang tanpa membeda-bedakan. Kekayaan budaya ini dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan pendampingan dan konseling keindonesiaan yang mengandung makna dan nilai-nilai hidup yang dalam.
Dari sekian banyak budaya yang ada di Maluku, buku ini mengangkat 14 tradisi yang mengembangkan potensi diri, produktivitas, dan upaya memperbaiki relasi manusia Indonesia, yaitu: Kain tenun ikat dari Tanimbar (atribut adat untuk mewakili rasa solidaritas); Matawana (bergadang untuk mendampingi keluarga yang berduka); Kalwedo di Maluku Barat Daya (saling memberi nasihat dan menguatkan dalam relasi lintas agama); Arumbae Manggurebe di Teluk Ambon (festival mendayung perahu yang mengandung nilai semangat juang dan kebersamaan); Makan Patita (makan bersama lintas budaya dan agama); Panas Pela di Ambon dan Maluku Tengah (hubungan persaudaraan antara dua negeri atau lebih); dan Pela Gandong (kekerabatan dan konseling lintas agama seperti saudara kandung).
Selain itu, ada juga tradisi Tampa Garam (tempat garam di meja makan yang mempererat ikatan orang tua dan anak); Pataheri di Suku Nuaulu (ritual inisiasi bagi anak laki-laki yang memasuki masa remaja dan dewasa); Maso Mata Rumah di Rumahkay (proses mempelai perempuan memasuki rumah mempelai laki-laki); Molo Sabuang di Kepulauan Aru (mediasi untuk menyelesaikan sengketa dengan cara menyelam); Bakar Batu di Kepulauan Kei dan Tanimbar (membakar bahan makanan di lubang yang ditutupi batu); Cuci Negeri di Soya (membersihkan negeri dari hal-hal kotor); dan Kain Gandong di Negeri Allang dan Lima (kain putih panjang pemersatu dua negeri yang berbeda agama).
Semua aspek budaya Maluku yang dieksplorasi tersebut menjadi pendekatan pendampingan dan konseling orang Maluku. Para penulis berharap buku ini berguna untuk membangun kehidupan sosial masyarakat Maluku dan pembaca dapat memberikan saran yang membangun demi pengembangan penulisan buku ini pada edisi-edisi berikutnya.
Penerbit: BPK Gunung Mulia
Buku Baru: 2024
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: 98 hlm
Sampul: Soft cover
Kepulauan Maluku sangat kaya dengan tradisi dan budaya lokal warisan nenek moyang. Salah satu falsafah yang dihidupi orang Maluku sehari-hari ialah “Ale Rasa Beta Rasa (Kamu Rasa Saya Rasa)”, yang berarti bahwa mereka selalu berempati dengan semua orang tanpa membeda-bedakan. Kekayaan budaya ini dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan pendampingan dan konseling keindonesiaan yang mengandung makna dan nilai-nilai hidup yang dalam.
Dari sekian banyak budaya yang ada di Maluku, buku ini mengangkat 14 tradisi yang mengembangkan potensi diri, produktivitas, dan upaya memperbaiki relasi manusia Indonesia, yaitu: Kain tenun ikat dari Tanimbar (atribut adat untuk mewakili rasa solidaritas); Matawana (bergadang untuk mendampingi keluarga yang berduka); Kalwedo di Maluku Barat Daya (saling memberi nasihat dan menguatkan dalam relasi lintas agama); Arumbae Manggurebe di Teluk Ambon (festival mendayung perahu yang mengandung nilai semangat juang dan kebersamaan); Makan Patita (makan bersama lintas budaya dan agama); Panas Pela di Ambon dan Maluku Tengah (hubungan persaudaraan antara dua negeri atau lebih); dan Pela Gandong (kekerabatan dan konseling lintas agama seperti saudara kandung).
Selain itu, ada juga tradisi Tampa Garam (tempat garam di meja makan yang mempererat ikatan orang tua dan anak); Pataheri di Suku Nuaulu (ritual inisiasi bagi anak laki-laki yang memasuki masa remaja dan dewasa); Maso Mata Rumah di Rumahkay (proses mempelai perempuan memasuki rumah mempelai laki-laki); Molo Sabuang di Kepulauan Aru (mediasi untuk menyelesaikan sengketa dengan cara menyelam); Bakar Batu di Kepulauan Kei dan Tanimbar (membakar bahan makanan di lubang yang ditutupi batu); Cuci Negeri di Soya (membersihkan negeri dari hal-hal kotor); dan Kain Gandong di Negeri Allang dan Lima (kain putih panjang pemersatu dua negeri yang berbeda agama).
Semua aspek budaya Maluku yang dieksplorasi tersebut menjadi pendekatan pendampingan dan konseling orang Maluku. Para penulis berharap buku ini berguna untuk membangun kehidupan sosial masyarakat Maluku dan pembaca dapat memberikan saran yang membangun demi pengembangan penulisan buku ini pada edisi-edisi berikutnya.